Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mengungkap mesin sensor konten pornografi yang tengah disiapkan pada awal 2018 nanti tak akan mengusik privasi pengguna, apalagi mencuri datanya.
Sebelumnya, beredar rumor soal mesin tersebut akan mengusung sistem
Deep Packet Inspection (DPI). Sistem ini konon akan diterapkan ke
router untuk 'memantau' aliran data secara langsung.
Sistem DPI ini juga menggunakan metode
'surveillance'
seperti yang ada di Tiongkok dan Amerika Serikat (AS). Akan tetapi
sekali lagi, Dirjen Aptika Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan menegaskan
bahwa hal itu tidak benar.
"
Crawling itu mesin biasa yang mencari data, lain dengan
surveillance. Nah, yang
browsing ini mesin, kalo
surveillance kan 'mendengarkan' apa yang terjadi. Kalau
crawling
ya mencari, jadi harus dibedakan. (Pemblokiran) kami kan punya dua
jalur, satu dari masyarakat yang melaporkan dan yang satunya mesin,"
kata pria yang akrab disapa Semmy ini kepada
Tekno Liputan6.com usai peresmian akademi Algoritma di Block71, Jakarta, Selasa (5/12/2017).
Sekadar informasi, mesin sensor
crawling yang digunakan Kemkominfo bukanlah sebuah sistem baru.
"Mulanya kan orang-orang yang mencari konten negatif.
Crawling ini satu metode yang lumrah dan sudah dilakukan. Misalnya perusahaan-perusahaan konsultan yang melakukan
crawling untuk membaca konten-konten di internet," lanjutnya menuturkan.
Dengan menggunakan
crawling, kata Semmy, saat timnya
menemukan konten-konten negatif yang bertentangan dengan undang-undang,
daftar temuan konten itu akan masuk ke tim analisis. Tujuannya untuk
memastikan konten-konten yang ditemukan termasuk konten negatif.
"Setelah itu, nanti ada tim lagi yang memverifikasi. Kalau sudah
dianalisis dan diverifikasi akan langsung masuk ke daftar DNS kami. Ini
nanti yang dikirim ke operator agar memasukkan daftar DNS --yang harus
diblokir-- agar tidak bisa lagi diakses," ujarnya.
Semmy mengatakan, dalam menjalankan tugasnya, mesin
crawling akan menggunakan kecerdasan buatan atau
artificial intelligence untuk membantu menyaring konten-konten negatif.
"Kalau manusia kan harus aktif melihat satu per satu, jumlahnya
banyak apalagi konten pornografi, makanya dibantu juga oleh mesin,"
tandas Semmy.
Mesin Crawling Dianggap Mahal
Mesin
sensor tersebut diungkap memiliki nilai tender lebih dari Rp 194
miliar, sedangkan Kemkominfo sendiri mengklaim akan mengendalikan mesin
secara langsung. Dalam hal ini, lembaga Internet Development (ID)
Institute menganggap nilai mesin sensor internet itu terlalu tinggi.
Seperti disampaikan praktisi ID Institute M Salahuddien, jika memang
Kemkominfo bersedia untuk mengendalikan mesin tersebut, seharusnya
nilainya tak harus sampai miliaran. Menurutnya, justifikasi yang
dilakukan Kemkominfo sangat lemah.
Salahuddien juga menilai, tak sepantasnya mesin ini dibandingkan
dengan mesin penyaring konten besutan Google karena nilainya sama-sama
tinggi.
"Ya tentu saja enggak adil kalau dibandingkan dengan (punya) Google
misalkan, karena kita tahu Google kan gratis. Ya tapi kurang lebih
kalaupun itu ada harganya, tentunya enggak segitu nilainya," ujar
Salahuddien kepada
Tekno Liputan6.com beberapa waktu lalu.
Dilanjutkan Salahuddien, menurutnya, nilai mesin sensor internet bisa lebih terjangkau jika mesinnya dibesut oleh pihak ketiga.
"Sekarang begini, kalau kita menggunakan mesin Crawler sendiri,
misalnya kita menggunakan layanan pihak ketiga ya itu langganannya juga
enggak mahal. Ya ordernya enggak sampai ratusan juta. Itu kita bisa
berlangganan," terangnya menjelaskan.
"Kita hitung saja layanan (penyaringan konten) yang lazim itu berapa
harganya. Jadi, silakan dihitung sendiri, enggak sampai ratusan juta kok
(dengan pihak ketiga) tanpa harus membangun infrastruktur sendiri,"
tukas Salahuddien.
Karena itu, Salahuddien berharap mesin penyaringan konten negatif
baiknya dibesut oleh pihak ketiga. Tujuannya adalah untuk transparansi
penekanan biaya dan akuntabilitas.